BENCANA yang melanda wilayah Sumatra serta gugatan iklim nelayan Indonesia yang diterima di Pengadilan Kanton Zug, Swiss, dinilai menjadi batu ujian serius bagi gagasan Ekonomi Hijau dalam Asta Cita Presiden Prabowo Subianto.
Wakil Ketua Komisi IV DPR RI, Alex Indra Lukman, menilai dua peristiwa tersebut menunjukkan perlunya perumusan yang lebih konkret dalam penerapan ekonomi hijau, ekonomi biru, dan ekonomi kreatif sebagai strategi pembangunan nasional.
“Dua peristiwa beriringan ini, telah membuktikan bahwa upaya pengembangan ekonomi kreatif, ekonomi hijau dan ekonomi biru sebagai strategi utama dalam mencapai kemandirian bangsa, harus segera menemukan formula idealnya,” kata Alex dalam keterangan yang diterima, Selasa (30/12).
Baca juga : Prabowo Sambut Malam Tahun Baru 2026 Bersama Warga Terdampak Bencana di Aceh
Penilaian tersebut disampaikan Alex merespons dikabulkannya seluruh permohonan dalam gugatan yang diajukan empat nelayan Indonesia terhadap perusahaan semen multinasional. Putusan itu diumumkan oleh Pengadilan Kanton Zug, Swiss, pada 22 Desember 2025.
Dalam gugatannya, para nelayan menuntut kompensasi atas dampak perubahan iklim yang mereka alami, termasuk dukungan pendanaan untuk perlindungan banjir serta percepatan penurunan emisi karbon dioksida (CO2).
Alex juga menyoroti bencana hidrometeorologi di Sumatra yang melanda tiga provinsi, yakni Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat. Bencana berupa banjir bandang dan tanah longsor tersebut, menurutnya, tidak terlepas dari praktik deforestasi masif akibat pembukaan lahan perkebunan sawit dan aktivitas pertambangan yang merusak ekosistem hutan.
Baca juga : Malam-Malam Prabowo Panggil Rosan ke Kertanegara, Minta Percepat Kampung Haji dan Hunian Warga Terdampak Bencana
“Para pembantu presiden harus bergerak cepat dan tepat dalam menerjemahkan Astacita ini terutama yang terkait dengan hilirisasi, industrialisasi dan pembangunan SDM, untuk memastikan pertumbuhan ekonomi yang harmonis dengan alam dan berkelanjutan sebagaimana dicita-citakan presiden,” tegas Ketua PDI Perjuangan Sumatera Barat itu.
Ancaman deforestasi, lanjut Alex, berpotensi semakin nyata ke depan jika merujuk pada pidato Presiden Prabowo Subianto dalam Sidang Tahunan MPR serta Sidang Bersama DPR dan DPD pada 15 Agustus 2025. Dalam pidato tersebut, Presiden menyampaikan bahwa negara telah mengambil alih 3,1 juta hektare kebun sawit ilegal yang berada di kawasan hutan di berbagai wilayah Indonesia.
“Seharusnya, pengambilalihan 3,1 juta hektar sawit itu disertai pemetaan yang lebih memihak gagasan ekonomi hijau,” tukas Alex.
Ia menambahkan, keberpihakan terhadap ekonomi hijau sejatinya telah ditunjukkan pemerintah melalui pencabutan tanaman sawit yang merambah hingga kawasan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) di Kabupaten Pelalawan, Riau.
“Selain mengambil alih lahan sawit illegal, seharusnya negara juga menindaklanjutinya dengan pemetaan potensi ancaman akibat pencaplokan hutan secara illegal itu,” ujarnya.
“Semua kebun sawit yang berada di hutan lindung dan konservasi alam, semestinya juga diperlakukan serupa kasus TNTN,” tukas Alex.
“Dengan begitu, hutan yang telah berganti jadi tanaman sawit, tak lagi jadi ancaman secara ekologi dan lingkungan,” tegas anggota DPR RI dari Daerah Pemilihan Sumatera Barat I itu.
Menurut Alex, Indonesia yang memiliki deposit hutan tropis terluas di dunia semestinya berada di garda terdepan dalam isu global terkait perubahan iklim. Selain itu, ia menekankan pentingnya keseriusan pemerintah dalam menciptakan sumber pertumbuhan ekonomi baru sebagaimana dijanjikan dalam kampanye Pemilu 2024.
“Di penutup tahun 2025, bangsa ini telah diberikan yurisprudensi oleh Pengadilan Swiss, bahwa perusak lingkungan itu bisa dituntut secara hukum. Ini merupakan preseden yang harus dicermati presiden, dalam menelurkan kebijakannya di masa depan,” kata Alex. (P-4)





