Menjadi Tuan di Langit Sendiri

kumparan.com
9 jam lalu
Cover Berita

Pada 24 Juni 2025, roket Falcon 9 milik SpaceX membawa misi kecil tapi bersejarah: satelit nano RIDU-Sat 1, hasil kerja sama Universitas Pertahanan RI, Berlin Nano Satellite Alliance, dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

Di era digital saat ini, data telah menjadi salah satu komoditas paling berharga dan strategis. Sering disebut sebagai “emas baru” abad ke-21, data menjadi penentu di berbagai sektor dari ekonomi hingga pertahanan modern. Artinya, siapa yang menguasai data, dialah yang menguasai arah masa depan.

Pentingnya Data Geospasial

Di antara berbagai jenis data, data geospasial — informasi yang memuat lokasi dan ruang —menjadi salah satu yang paling penting. Citra satelit, peta, dan koordinat digital kini menjadi fondasi banyak keputusan: memetakan produktivitas lahan pertanian, memantau banjir dan kebakaran hutan, hingga menganalisis risiko pertahanan di wilayah perbatasan. Namun ironisnya, sebagian besar data geospasial yang digunakan di Indonesia masih bergantung pada satelit asing. Ketergantungan ini bukan sekadar persoalan teknis, melainkan menyangkut kedaulatan informasi. Ada dua risiko besar di balik ketergantungan itu.

Pertama, ketidakpastian akses. Saat bencana terjadi, kita sering mengandalkan satelit luar negeri untuk memperoleh citra wilayah terdampak. Meski ada mekanisme berbagi data internasional, ketersediaannya tidak selalu secepat kebutuhan di lapangan. Seperti contoh, pada saat banjir melanda Bali pada September 2025 silam, nyaris tidak ditemukan citra satelit yang dapat digunakan secara gratis oleh publik untuk kepentingan mitigasi.

Kedua, kerentanan geopolitik. Dalam situasi krisis atau konflik, negara penyedia data tentu akan mendahulukan kepentingannya sendiri. Akses bisa ditunda, dibatasi, bahkan ditutup sepenuhnya. Akibatnya, Indonesia berpotensi “buta di rumah sendiri” ketika menghadapi ancaman atau keadaan darurat.

Pergeseran Teknologi Geospasial ke Sektor Swasta

Selain soal ketergantungan, peta industri satelit dunia juga tengah berubah. Dahulu, peluncuran satelit dan penyediaan data citra satelit umumnya dimonopoli oleh lembaga negara (misalnya: NASA, ESA, ISRO, dll). Kini, perusahaan swasta berperan semakin dominan. Contoh nyata adalah SpaceX yang menyediakan layanan peluncuran roket dengan biaya lebih efisien, bahkan banyak digunakan berbagai negara — termasuk Indonesia — untuk mengorbitkan satelitnya. Demikian juga dalam penyediaan data citra satelit: perusahaan seperti Planet Labs, Maxar, dan Airbus telah memiliki ratusan satelit pemantau Bumi yang beroperasi secara komersial.

Planet Labs misalnya, mengoperasikan konstelasi lebih dari 200 satelit aktif yang memotret seluruh permukaan Bumi setiap hari. Citra beresolusi tinggi dari Planet, Maxar (DigitalGlobe), dan Airbus kini menjadi sumber data penting bagi sektor pertanian, kehutanan, perkotaan, hingga intelijen militer di seluruh dunia. Perusahaan tidak lagi menjual data citra mentah, melainkan analisis siap pakai: dari deteksi kapal ilegal hingga prediksi panen berbasis Artificial Intelligence (AI).

Dengan kata lain, apa yang dulu menjadi topik riset di universitas kini telah berubah menjadi produk komersial global. Perusahaan swasta memonetisasi hasil inovasi ilmiah yang dahulu dikerjakan di ranah akademik. Tanpa sumber data nasional yang mandiri, terbuka, dan berkelanjutan maka para peneliti di Indonesia hanya akan menjadi pengguna teknologi, bukan pengembangnya.

Dukungan Kebijakan dan Riset Berkelanjutan

Meski kerap dianggap tertinggal, Indonesia sebenarnya telah memiliki rekam jejak dalam pengembangan satelit mikro melalui program LAPAN seri A. Program ini menjadi tonggak awal kemampuan nasional dalam teknologi antariksa. Langkah pertama dimulai dengan LAPAN-A1, atau yang dikenal dengan nama LAPAN-TUBSAT, hasil kolaborasi antara LAPAN (kini BRIN) dan Technische Universität Berlin.

Diluncurkan pada tahun 2007, satelit ini menjadi satelit mikro pertama buatan Indonesia. Delapan tahun kemudian, Indonesia melanjutkan dengan peluncuran LAPAN-A2, yang dirakit sepenuhnya di dalam negeri, dan diluncurkan pada tahun 2015. Setahun kemudian, pada 2016, lahirlah LAPAN-A3, hasil kerja sama antara LAPAN (kini BRIN) dan Institut Pertanian Bogor (IPB). Satelit ini dirancang khusus untuk misi penginderaan jauh multispektral, dengan fokus pada pemantauan pertanian, kehutanan, dan lingkungan hidup.

Selain itu, BRIN kini sedang menyiapkan program konstelasi satelit Nusantara Earth Observation (NEO), sebuah inisiatif besar untuk membangun jaringan satelit nasional optis beresolusi tinggi maupun satelit radar (Synthetic Aperture Radar). Jika proyek ini berlanjut konsisten, Indonesia akan memiliki kemampuan memantau wilayahnya sendiri secara real-time, dari pertanian hingga pertahanan.

Maka dari itu, dukungan dan konsistensi kebijakan pemerintah sangat diperlukan untuk mencapai kemandirian data geospasial. Pertama, pemerintah perlu menjadikan ini sebagai program strategis nasional lintas sektoral. Regulasi sebenarnya sudah ada sebagai landasan, misalnya Undang-Undang No. 21 Tahun 2013 tentang Keantariksaan yang mengamanatkan kemandirian teknologi antariksa dan pembinaan kemampuan satelit nasional.

Implementasi regulasi ini perlu dipercepat melalui peta jalan yang jelas: target jumlah satelit, sumber pendanaan, model pengembangan (kerja sama kampus, industri, BUMN, swasta), hingga rencana pemanfaatan datanya oleh kementerian/lembaga. Kedua, alokasi anggaran penelitian dan pengembangan di bidang satelit dan penginderaan jauh harus ditingkatkan.

Riset di lembaga seperti BRIN, serta universitas harus difokuskan dan didanai secara berkelanjutan. Ketiga, diperlukan kemitraan strategis yang saling menguntungkan. Kita bisa belajar teknologi dari negara maju atau mitra asing, tetapi tujuannya untuk kemandirian, bukan selamanya bergantung. Ke depan, model kemitraan semacam ini bisa diperluas, termasuk mendorong peran startup dan industri swasta nasional di bidang antariksa.

Jika di dunia banyak perusahaan startup berlomba di bisnis satelit, mengapa Indonesia tidak bisa? Pemerintah dapat memberi insentif bagi perusahaan lokal yang ingin mengembangkan wahana antariksa atau layanan berbasis data satelit.

Akhir kata, kemandirian data satelit adalah fondasi penting bagi masa depan Indonesia. Di era ketika data menjadi penentu kebijakan, keamanan, dan ekonomi, Indonesia harus berdaulat atas data geospasialnya sendiri. Bukan berarti menutup diri dari kerja sama internasional, melainkan memastikan kita punya kemampuan mandiri sehingga posisi tawar kita lebih kuat.

Dengan investasi yang tepat, dukungan kebijakan, dan semangat inovasi anak bangsa, Indonesia bisa mengejar ketertinggalan. Kedaulatan di era digital tidak lagi hanya di darat, laut, dan udara, tetapi juga di data geospasial dan antariksa. Dengan berpegang pada prinsip ini, Indonesia dapat menyongsong masa depan dengan lebih percaya diri sebagai bangsa yang berdaulat penuh atas informasi strategisnya sendiri.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Ketika Upah Minimum Disalahpahami Menjadi "Upah Maksimum"
• 19 jam lalukompas.id
thumb
Hanya Guru Parepare di Sulsel Tak Dapat THR-Gaji 13, Pemkot-Dewan Janji Segera Cari Solusi
• 1 jam laluharianfajar
thumb
Ratchaburi FC, Kuda Hitam dari Thailand yang Menantang Persib Bandung di Asia
• 3 jam lalugenpi.co
thumb
Prabowo Akan Rayakan Malam Tahun Baru di Aceh
• 13 jam laluidxchannel.com
thumb
Bupati Solok Serahkan Bantuan Dana Tunggu Hunian untuk 300 Korban Bencana
• 23 menit lalutvrinews.com
Berhasil disimpan.