Apa Misi di Balik Orkestrasi Elite Partai Kembalikan Pilkada lewat DPRD?

kompas.id
9 jam lalu
Cover Berita

Di tengah menguatnya wacana perubahan sistem pemilihan kepala daerah dari langsung menjadi tidak langsung, pertemuan antarpimpinan partai politik kian intens. Awal pekan di akhir Desember 2025, tiga pimpinan partai parlemen pendukung pemerintah bersamuh di rumah dinas Bahlil Lahadalia, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral yang juga Ketua Umum Partai Golkar. Meski tidak menyatakan sikap resmi, mereka sama-sama mendukung ide untuk mewujudkan pemilihan kepala daerah melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Keempat pimpinan partai itu adalah Ketua Harian Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad, Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar, dan Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan. Foto pertemuan mereka diunggah di akun Instagram pribadi Bahlil dan akun Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar pada hari yang sama seusai pertemuan berlangsung, Senin (29/12/2025).

“Silaturahmi ini untuk memperkuat soliditas koalisi serta mensukseskan program pemerintah,” sebagaimana tertulis dalam unggahan tersebut. Namun, sejumlah politisi PAN dan Golkar yang dihubungi Kompas, Selasa (30/12/2025), tidak memungkiri bahwa kopi darat empat pimpinan partai politik (parpol) itu turut membahas wacana mengubah pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang dilakukan secara langsung menjadi tidak langsung atau dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Pasca-pertemuan itu, Partai Gerindra, parpol yang dipimpin oleh Presiden Prabowo Subianto pun menyatakan sikap resmi. Melalui pernyataan sekretaris jenderalnya, Sugiono, Gerindra menegaskan dukungan terhadap wacana Pilkada oleh DPRD.

Pernyataan resmi Gerindra melengkapi sikap parpol-parpol anggota koalisi pemerintahan lainnya. Sebelumnya, Golkar, PKB, dan PAN sudah lebih dulu menyampaikan ide perubahan sistem Pilkada itu ke publik. Bahkan, Golkar juga mengklaim, sudah mengkaji secara serius berbagai kemungkinan sistem pilkada selama 1,5 tahun terakhir.

Ketua DPP Gerindra Prasetyo Hadi mengatakan, wacana itu memang bukan hal baru. Sejak beberapa waktu lalu, ide tersebut sudah kerap dibahas di antara para pimpinan parpol, tidak terkecuali Presiden Prabowo. Akan tetapi, Prasetyo yang juga menjabat sebagai Menteri Sekretaris Negara menekankan, pembicaraan tersebut berlangsung dalam konteks diskusi antarpimpinan parpol, bukan antara Presiden dan menteri-menterinya yang menduduki kursi ketua umum partai koalisi.

“Dalam konteks partai politik ya, itu juga bagian yang tidak hanya baru sekarang. Itu sudah cukup lama juga kita bicarakan, kita bahas,” tuturnya saat ditemui di Pangkalan TNI Angkatan Udara Halim, Jakarta, Senin.

Menurut Prasetyo, pembelajaran atas proses demokrasi yang sudah berlangsung selama 25 tahun terakhir terus berjalan. Indonesia pun harus berani mengubah sistem pemilihan kepala daerah ketika mendapati sistem itu memiliki banyak sisi negatif.

“Misalnya, dari ongkos politik gitu, kan. Kita semua sekarang tahu bahwa untuk menjadi seorang kepala daerah baik bupati, wali kota, maupun gubernur, itu ongkosnya sangat besar. Belum lagi dari sisi negara, ya, dalam hal ini mengenai pembiayaannya,” ungkap Prasetyo.

Oleh karena itu, Gerindra pun ingin mengembalikan sistem Pilkada kepada mekanisme pemilihan oleh DPRD. Oleh karenanya, kajian mengenai kemungkinan itu pun dilakukan sejak lama. Dukungan yang didasarkan pada hasil kajian itu bakal disampaikan untuk menjadi bagian dari revisi Undang-Undang Pemilu.

Disepakati bersama

Senada dengan Prasetyo, Sekretaris Jenderal Golkar Muhammad Samuji mengatakan, Golkar juga terus mengkaji secara mendalam kemungkinan penyelenggaraan Pilkada oleh DPRD. “Kita memang dalam proses mematangkan konsep (Pilkada),” ujar Sarmuji.

Catatan Kompas, Golkar telah membentuk tim kajian politik yang mendalami sistem pemilu, partai politik, dan pilkada. Dari hasil kajian tersebut, Golkar merekomendasikan agar Pilkada dilakukan melalui DPRD, baik untuk memilih gubernur, bupati, maupun wali kota. Namun, Golkar memberikan catatan bahwa rekomendasi itu harus dibahas oleh DPP Golkar dengan parpol-parpol koalisi pemerintah untuk diperjuangkan dalam revisi UU Pemilu atau UU Pilkada (Kompas, 30/12/2025).

Baca JugaPilkada lewat DPRD: Partai Besar Merapat, Partai Kecil Tak Sepakat

Wakil Ketua Umum PAN Viva Yoga Mauladi mengatakan, partainya juga mendukung Pilkada tidak langsung asalkan itu sudah disepakati seluruh parpol. Dengan demikian, diharapkan proses pembahasan revisi UU Pilkada tidak menjadi ajang bagi parpol tertentu untuk menjaring dukungan rakyat dari sikap yang dikemukakan.

Selain itu, ia juga menilai penting jika gagasan untuk mengubah sistem pilkada itu terlebih dulu disepakati oleh publik agar tidak menimbulkan pro-kontra yang tajam. Berkaca pada periode sebelumnya, pembahasan revisi UU Pilkada selalu memicu demonstrasi secara massif dalam lingkup nasional.

Meski usulan dan argumentasi perubahan sistem pilkada masih dimatangkan, revisi UU Pemilu dan UU Pilkada sudah disiapkan. Rancangan Undang-Undang Pemilu telah resmi masuk ke dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2026 dan akan dibahas di Komisi II DPR.

Kendati revisi UU tersebut belum dimulai, mayoritas partai di parlemen sudah satu suara. Dari delapan parpol yang memiliki kursi di DPR, hanya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan Partai Demokrat yang menolak ide Pilkada melalui DPRD dengan argumentasi menjaga proses demokratisasi.

Sebanyak lima parpol lainnya, Golkar, Gerindra, PAN, PKB, dan Nasdem mendukung Pilkada melalui DPRD. Sementara Partai Keadilan Sejahtera (PKS), belum menyatakan sikap, tetapi terbuka untuk mendiskusikan semua kemungkinan dengan parpol-parpol lain. Argumentasi yang digunakan pun serupa, terkait dengan ongkos politik tinggi karena politik uang.

Kajian Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Dalam Negeri pada Pilkada 2015 menunjukkan, biaya yang dikeluarkan untuk memenangi pemilihan bupati atau wali kota berkisar antara Rp 20-30 miliar. Bahkan, untuk pemilihan gubernu, ongkos politiknya mencapai Rp 20-100 miliar, bergantung pada luas wilayah, jumlah pemilih, serta tingkat kompetisi politik.

Namun, pemilihan kepala daerah melalui DPRD juga sarat dengan politik uang. Liputan Kompas pada tahun 2000 atau 25 tahun lalu menunjukkan bahwa praktik politik uang berlangsung dengan pola yang relatif seragam, yakni melibatkan kandidat, parpol, dan anggota DPRD sebagai pengambil keputusan utama.

Gagasan ini mengindikasikan niat untuk menata ulang peta kekuasaan di daerah sekaligus memperlihatkan wajah politik yang kian elitis

Dalam tahap pencalonan, bakal calon bisa mengeluarkan uang sekitar Rp 500 juta untuk mengamankan dukungan fraksi. Mereka juga perlu untuk membayar setiap anggota DPRD sebanyak Rp 50-75 juta sebagai harga satu suara. Bahkan, sebelum pemilihan, umumnya tim sukses kepala daerah mendatangi rumah anggota DPRD atau mengingapkan mereka di hotel dan memberikan uang tunai tambahan dengan nilai bervariasi, dari Rp 10-25 juta tergantung posisi mereka di fraksi parpol masing-masing.

Praktik paling ekstrem tercatat dalam pemilihan Gubernur Kalimantan Tengah saat itu. Sejumlah anggota DPRD disebut aktif ”menguber” kandidat dan mematok biaya untuk sekadar masuk bursa pencalonan. Untuk calon gubernur, biaya awal disebut mencapai Rp 25 juta, sedangkan total dana yang harus dikeluarkan bisa mencapai Rp 5 miliar. Seorang anggota DPRD bahkan dilaporkan menerima hingga Rp 700 juta selama proses pemilihan, meski praktik tersebut nyaris mustahil dibuktikan secara hukum karena tidak pernah disertai bukti tertulis (Kompas, 13/12/2025).

Politik yang kian elitis

Bagi sebagian besar parpol parlemen, penyelenggaraan Pilkada tidak langsung bukan masalah mengingat mereka juga mendominasi jumlah kursi baik di DPRD provinsi maupun kabupaten/kota. Artinya, peluang untuk memenangi Pilkada tidak langsung pun terbuka.

PDI-P, misalnya, total kursi DPRD di seluruh provinsi dan kabupaten/kota mencapai 3.199 kursi. Jumlah itu disusul oleh Golkar (2.886 kursi), Gerindra (2.443 kursi), Nasdem (2.115 kursi), dan PKB (2.053 kursi). Selain itu, Demokrat juga memiliki 1.685 kursi, PKS 1.522 kursi, dan PAN 1.396 kursi.

Perolehan kursi itu berbanding terbalik dengan sejumlah partai non-parlemen. Misalnya, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) memiliki total 932 kursi DPRD, Perindo 380 kursi, dan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) 182 kursi. Di luar itu, ada juga Partai Hanura, Partai Kebangkitan Nusantara, dan Partai Gelora yang perolehan kursinya di bawah 100.

Tak hanya itu, parpol parlemen juga mendominasi kursi kepala daerah hasil Pilkada 2024. Pemetaan Centre for Strategic and International Studies (CSIS) menunjukkan, Gerindra merupakan parpol dengan keterpilihan gubernur tertinggi dari total 37 provinsi, yakni 11 gubernur. Capaian itu disusul oleh Golkar yang memiliki enam gubernur, PDI-P dan Demokrat (empat gubernur), dan PAN (tiga gubernur). Selain itu, Nasdem, PKS, dan PKB, sama-sama memiliki satu gubernur.

Direktur Eksekutif Aljabar Strategic Indonesia Arifki Chaniago mengatakan, skema Pilkada melalui DPRD secara struktural memang menguntungkan partai besar yang memiliki kursi dan jejaring fraksi parpol yang kuat di daerah. Sebaliknya, mekanisme itu merugikan bagi parpol-parpol kecil yang selama ini masih bisa berlaga dengan mengandalkan popularitas figur dan dukungan langsung dari pemilih.

Baca JugaPilkada oleh DPRD Perkuat Oligarki, Politik Uang Tidak Lenyap

“Jika Pilkada lewat DPRD benar-benar diterapkan, maka kompetisi politik akan bergeser dari arena publik ke ruang tertutup parlemen. Yang paling terdampak bukan hanya calon independen, tapi juga partai kecil yang kehilangan daya tawar,” kata dia.

Menurut Arifki, gagasan ini mengindikasikan niat untuk menata ulang peta kekuasaan di daerah sekaligus memperlihatkan wajah politik yang kian elitis. Sebab, penentuan kepala daerah bakal selesai di tingkat pimpinan pusat partai. Untuk menempatkan kader partai menjadi kepala daerah, partai pun berpotensi besar untuk melakukan barter daerah demi mencapai kesepakatan.

Padahal, Pilkada langsung yang digelar sejak 2005 memiliki semangat untuk menghentikan dominasi pimpinan partai dalam pemilihan kepala daerah yang sebelumnya dilaksanakan melalui DPRD. Pemilihan secara langsung juga diharapkan meningkatkan kedaulatan dan partisipasi rakyat dalam menentukan kepala daerah, serta meningkatkan legitimasi politik eksekutif di daerah. Lebih dari itu, pilkada langsung juga ditujukan untuk memutus mata rantai politik uang yang terjadi di ruang gelap saat pemilihan masih dilakukan oleh anggota dewan.

Arifki menilai, besar kemungkinan perubahan Pilkada langsung menjadi tidak langsung ini akan terwujud. Sebab, peta dukungan politik di parlemen kini dikuasai oleh fraksi parpol yang mendukung wacana itu. Penolakan dari PDI-P dan Demokrat pun dinilai tak serius. Apalagi, Demokrat merupakan bagian dari parpol pendukung pemerintah.

Baca JugaPilkada oleh DPRD, Ditolak SBY di 2014 dan Kini Diembuskan Ulang oleh Prabowo

“Demokrat yang bergabung sebagai bagian dari koalisi pemerintah, tentu bakal dinilai punya narasi yang berbeda jika kencang menolak wacana ini. PDI-P pun sama, karena sikapnya sebagai pendukung pemerintahan Prabowo diluar kabinet masih dinilai ambigu,” ujarnya.

Menurut dia, PDI-P dan Demokrat perlu membentuk poros politik baru untuk menolak ide mengembalikan mekanisme Pilkada seperti di era Orde Baru. Tanpa itu, wacana tersebut berpotensi besar berjalan dengan mulus dalam proses politik di DPR.

Namun, akankah terbentuk poros politik untuk memertahankan pilkada langsung di tengah demokrasi yang berlangsung tanpa pihak yang benar-benar tegas berada di luar pemerintahan?

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Gaikindo Catat Penjualan Mobil dari Pameran di 2025 Tembus 60 Ribu Unit
• 15 jam laluidxchannel.com
thumb
Ibu Bekerja di Bawah Tekanan Ganda, Dukungan Keluarga Jadi Penentu
• 4 jam lalumediaindonesia.com
thumb
Gibran Pastikan Fasilitas Pendidikan di IKN Siap Cetak SDM Unggul
• 6 jam lalukompas.com
thumb
Terseret Dugaan Korupsi, Mantan Kajari Bekasi Diproses Jamwas Kejagung
• 55 menit laluokezone.com
thumb
Pesona Umbul Kapilaler, Mata Air Sebening Kaca menjadi Pelarian dari Hiruk Pikuk
• 10 jam lalukumparan.com
Berhasil disimpan.