Memahami hutan, menyayangi ibu dan menyelamatkan kehidupan

antaranews.com
3 jam lalu
Cover Berita
Yogyakarta (ANTARA) - “Indonesia sedang berduka. Semua sedang berduka. Hutan kita, ibu kita …,” kata Guru Besar Fakultas Pertanian IPB Damayanti Buchori saat menjelaskan makna frasa hutan itu adalah ibu.

Profesor yang merupakan ahli serangga dan ekologi tata guna lahan itu mengatakan hutan adalah ekosistem yang kompleks. Di sana ada biodiversity atau keanekaragaman hayati, yang menjadi sumber pangan, sumber obat-obatan, sumber kehidupan.

Ia juga menjelaskan di sana ada proses jasa ekosistem yang menyebabkan kehidupan di Bumi terus berjalan.

Hutan mengatur siklus air, siklus hara, memberikan jasa ekosistem seperti penyerbuk, menjadi pusat keberadaan penyerbuk yang bertanggungjawab pada keberhasilan pertanian dan pangan manusia. Begitu kata Damayanti Buchori saat berbicara dalam “Refleksi Akhir Tahun 2025: Hutan Kita, Ibu Kita” yang diikuti daring di Yogyakarta, Senin (22/12).

Dalam hutan juga terdapat culture diversity atau keragaman budaya. Hutan tidak kosong, kata Damayanti. Karena interaksi manusia dan hutan sudah terjadi ratusan ribu tahun lalu.

Hutan adalah biocultural diversity. Keanekaragaman hayati biokultur itu menjadi tempat manusia belajar tentang alam, tempat manusia mendapatkan sumber inspirasi, tempat manusia belajar dan menguak rahasia kehidupan.

“Bagi saya, seorang perempuan, saya melihat hutan itu bukan hanya dari sisi bagaimana memanfaatkan hutan untuk kepentingan manusia, tetapi juga bagaimana hutan dengan segala kompleksitasnya menjadi fondasi kehidupan bersama bagi manusia dan nonmanusia,” ujar dia.

Peran hutan jangan disimplifikasi dan hanya menjadi sumber devisa jangka pendek semata, kata Damayanti menegaskan. Hutan yang kompleks itu rumah bagi serangga, bakteri, virus, jamur dan belowground diversity yang belum semua mampu manusia ungkap pasti manfaatnya bagi kehidupan.

“Masih banyak yang belum kita ketahui yang mungkin justru menjadi solusi bagi krisis iklim dan permasalahan kehidupan,” ujar dia.

Dari penjelasan Prof Damayanti itu tentu dapat dibayangkan betapa ruginya bangsa ini ketika potensi solusi permasalahan kehidupan di masa depan itu lenyap begitu saja bersamaan dengan hilangnya tutupan hutan-hutan Indonesia dengan sangat cepat.



Bumi perlu pulih

Atmosfer Bumi yang pada 4,5 miliar tahun lalu penuh dengan karbondioksida (CO2) hingga metana telah berproses sangat panjang untuk dapat layak dihuni mahluk hidup. Semua itu berkat satu organisme kecil bernama sianobakteri yang hidup 3 miliar hingga 2,5 miliar tahun lalu, yang berkemampuan mengubah atmosfer Bumi menjadi oxygenated pada sekitar 2,8 miliar tahun lalu.

Terjadi proses evolusi yang sudah sangat lama saat akhirnya pelan-pelan bakteri, virus sampai kemudian tumbuhan dapat hidup di bumi. Hingga akhirnya muncul Homo sapiens sekitar 250 ribu tahun lalu.

Ketika pertanian ditemukan sekitar 12.000 tahun lalu, saat itu jumlah manusia melesat tinggi.

“Dan hanya dalam jangka waktu beberapa tahun kita (mampu) hancurkan Bumi ini. Apakah kita mau menjadi spesies yang kemudian disalahkan oleh spesies lain, bahwa kita telah menghancurkan Bumi ini?” kata Prof Damayanti menerangkan betapa kontrasnya waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan Bumi sebagai tempat layak huni di masa lampau dengan perusakan Bumi saat ini.

Manusia mendapat anugerah otak yang luar biasa. Manusia juga mempunyai jiwa, lanjutnya.

“Mari kita padukan antara kecerdasan intelektual kita dengan rasa dan kecintaan pada bumi untuk menyelamatkan Bumi kita. Kita pasti bisa go beyond politic, go beyond kepentingan, dan kita cintai (Bumi). Karena Bumi ini hanya satu,” ujar dia.

Guru Besar ITB Premana Wardayanti Premadi mengatakan dalam astronomi modern, saat manusia sudah mampu menjelah planet lain dengan mengirim wahana, manusia jadi bisa melihat kondisi planet lain.

Dari sana orang jadi bisa mengambil pelajaran yang reflektif. Bahwa ternyata Bumi itu istimewa sekali, tidak ada tempat lain seperti Bumi, apa lagi untuk menjadikannya sebagai tempat hidup bersama, kata Premana.

Profesor yang juga merupakan perempuan astronom nasional pertama Indonesia itu lalu mengatakan manusia juga sadar Bumi yang siklik, tidak tampil sama sepanjang tahun. Bagi mereka yang hidup di khatulistiwa mungkin tidak terlalu merasakan perubahannya sepanjang tahun, tapi mereka yang ada di bagian utara atau selatan planet ini merasakan betul perubahan musim.

Ada saat Bumi tertutup es dan salju, sehingga manusia tidak bisa mencari makan. Jadi, kata Premana, mereka yang tinggal di Bumi belahan utara dan selatan akan merawat betul apa yang bisa menjadi sumber daya agar kehidupan bisa tetap berlangsung.

“Nah dari sana lah masyarakat tradisional biasanya mengingat betul bagaimana Bumi itu perlu dipulihkan. Dia tidak serta merta menyediakan keperluan kita,” ujar Premana yang akrab disapa Nana.

Namun di masa modern ini manusia berpikir teknologi bisa mengatur supaya segala sesuatu yang diinginkan dapat terpenuhi.

Sehingga tempat-tempat yang dulu orang berpikir tidak seharusnya manusia huni karena misalnya, lahan yang terlalu miring, atau tidak cukup ajeg, atau kurang air, atau justru kebanyakan air sehingga perlu dihindari sebagai tempat tinggal, ternyata sekarang dengan jumlah manusia yang semakin banyak dan teknologi semakin canggih maka semua persoalan dianggap bisa diselesaikan.

“Jadi bencana yang semakin kita alami itu ya kelalaian relasi sebab akibat tersebut,” kata Premana.



Belajar dari kekeliruan

Direktur Eksekutif Madani Berkelanjutan Nadia Hadad mengatakan dalam banyak budaya Nusantara, hutan yang merupakan ibu, adalah yang memberikan sumber kehidupan berupa air, pangan, perlindungan dan keseimbangan ekosistem.

Namun seperti yang juga di negara ini dan belahan dunia lain alami, ia mengatakan, hutan banyak dieksploitasi, dilukai, dipaksa untuk memberi terus-menerus tanpa henti, sampai akhirnya runtuh dan justru akhirnya masyarakat yang menanggung bebannya, yang mengalami bencana, seperti yang dirasakan di Sumatera.

Peringatan dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) sudah ada. Bahkan peringatan dari para aktivis lingkungan sudah diberikan bertahun-tahun lalu, bahwa kehancuran dan eksploitasi yang dilakukan selama ini akan berakibat buruk ke depannya.

“Pada saat kenyataan (bencana) itu terjadi, itu lah titik tersedih buat kami sebagai aktivis lingkungan,” ujar Nadia.

Mantan Menteri Lingkungan Hidup Emil Salim mengatakan banjir Sumatera sudah terjadi, tidak untuk diratapi, tidak untuk hanya diperbincangkan saja, tetapi harus menjadi peringatan agar tidak terulang lagi.

“Intinya adalah belajar dari keadaan itu. Bahwa ada yang keliru dari cara kita membangun di daerah yang terjadi banjir itu. Maka pembangunan harus terus berjalan, tapi banjir tidak boleh terulang kembali di seluruh pelosok tanah air,” ujar Prof Emil Salim.

Masyarakat Indonesia, menurut dia, perlu belajar cara pengelolaan sumber daya alam. Yang terjadi saat ini adalah kerusakan alam dalam pembangunan, keliru dalam membangun suatu hal, yang menyebabkan arus air atau tanah terkuras dan air tidak bisa mengalir dengan baik.

“Jangan kita abaikan pelajaran dari kekeliruan ini. Jangan terulang kekeliruan ini. Seribuan orang menjadi korban adalah biaya yang telah kita bayar akibat kekeliruan ini. Mari kita belajar dari kekeliruan ini. Tidak untuk mencari siapa yang salah, tapi untuk mencari apa yang salah,” katanya.

Menurut Prof Emil, yang salah adalah land used plan. Yang salah adalah rencana penggunaan lahan, yang salah adalah lokasi pembangunan tidak sesuai daya dukung lingkungan, yang keliru adalah pengabaian kelestarian alam dan lingkungan.

“Itu yang tidak boleh diulang,” katanya menegaskan.

Jangan hanya sekedar menyesal. Tapi melangkah ke depan dengan sikap tegas yang memastikan tidak boleh terjadi lagi korban manusia jatuh karena salah mengelola alam.






Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Lamborghini Urus Diberondong Ratusan Peluru di Siang Bolong, Pengusaha Meksiko Tewas di Tempat Bersama Putrinya
• 5 jam laludisway.id
thumb
Idaman Banget, Prilly Latuconsina Cerita Hobi Nabung: di saat Uang Bertambah, Belum Tentu Lifestyle Harus Ikut
• 16 jam lalufajar.co.id
thumb
Foto: Ratusan Keluarga Mengungsi Imbas Gempa di Gunung Api Burni Telong, Aceh
• 2 jam lalukumparan.com
thumb
Beri Insentif, Pemerintah Dorong UMKM Jadi Lebih Ramah Lingkungan
• 9 jam lalukatadata.co.id
thumb
Populer: Amazon Service Tak Jadi Pemungut PPN; IHSG 2025 Ditutup di 8.646,9
• 16 jam lalukumparan.com
Berhasil disimpan.