Fenomena parkir liar menunjukkan bahwa kuasa aktor membentuk komunitas parkir dengan aturan tidak tertulis, pembagian wilayah, dan penentuan siapa yang berhak menjadi juru parkir (Luthfia, A. R., “Kuasa Aktor dalam ‘Dunia’ Parkir Liar” Jurnal Cakrawala, 2015, hlm. 63–65).
Oleh: Adekamwa
(Humas Pusjar SKMP LAN)
Ada ironi yang terus berulang di jalan-jalan Makassar. Bahu jalan bukanlah tempat parkir, namun setiap hari dijadikan ruang VIP. Kendaraan berhenti dengan tenang, mesin dimatikan, pintu dibuka, sementara lalu lintas mengular tanpa protes. Pelanggaran berlangsung rapi, seolah telah menjadi bagian sah dari ritme kota.
Fenomena ini mudah ditemui, dari area bawah Terowongan Ramayana hingga bahu jalan depan Toko Alaska, dari Jalan Balaikota Makassar sampai bahu jalan di depan Toko SatuSama Tamalanrea. Parkir dan aktivitas bongkar-muat berubah menjadi rutinitas yang menguntungkan pelaku usaha, tetapi memindahkan beban ketidaknyamanan kepada publik.
Wajar jika masyarakat termasuk Penulis, mempertanyakan efektivitas Analisis Dampak Lalu Lintas (Andalalin) yang selama ini disusun.
Sudah saatnya Dinas Perhubungan Kota Makassar bersama dinas teknis terkait meninjau ulang dokumen yang gagal membaca kenyataan di lapangan.
Ketika Bahu Jalan Diubah
Masalahnya pun bukan misteri, bahkan telah dipresentasikan dengan data. Dalam kegiatan Makassar Media Fellowship: Newsroom Challenge yang digelar UK Partnership for Accelerating Climate Transition Indonesia (UK PACT), World Resource Institute (WRI) Indonesia di Hyatt Place Makassar, Februari 2025, Dr. Jusman Hattu memaparkan fakta yang seharusnya menghentikan kebiasaan berpura-pura kaget.
Dari 1.474.939 penduduk Kota Makassar, sekitar 92 persen memilih kendaraan pribadi untuk aktivitas harian, dengan dominasi sepeda motor mencapai 75 persen. Kota ini memiliki 1.244 ruas jalan, namun 237 di antaranya tercatat sebagai ruas paling padat dan kerap macet.
Kemacetan bukan sekadar akibat kurangnya ruang jalan, melainkan cerminan dari kebijakan yang tertinggal dari kebiasaan, serta pembiaran yang terlalu lama dianggap normal.
Kemacetan di kota-kota besar kerap berawal dari pelanggaran yang tampak sepele, salah satunya dominasi parkir di bahu jalan. Ruang yang semestinya berfungsi sebagai jalur penyelamat lalu lintas justru disulap menjadi area parkir, menyempitkan badan jalan dan memicu antrean kendaraan yang berulang dari hari ke hari.
Usaha Nyaman, Warga Menjerit
Dalam konteks pertumbuhan kendaraan yang terus menekan ruang kota, dampak pelanggaran semacam ini terasa makin nyata dan terstruktur. Data Polda Sulawesi Selatan per Agustus 2024 mencatat jumlah kendaraan di Kota Makassar telah mencapai sekitar 2,04 juta unit. Dari angka tersebut, sepeda motor mendominasi secara telak, yakni 1.592.460 unit atau sekitar 78 persen dari total kendaraan yang beroperasi di jalanan kota.
Kepadatan yang didorong oleh dominasi kendaraan roda dua ini membuat setiap pelanggaran terhadap fungsi ruang jalan memiliki efek berlipat. Bahu jalan yang disalahgunakan, parkir sembarangan, hingga bongkar-muat di badan jalan merupakan pemicu kemacetan yang sistemik.
Dalam kondisi seperti ini, kelancaran lalu lintas kian rapuh, risiko kecelakaan meningkat, dan kualitas mobilitas publik terus tergerus.
Namun, kebiasaan parkir di bahu jalan masih kerap diperlakukan seolah wajar, padahal aturan hukum secara tegas melarang penggunaannya kecuali kondisi darurat tertentu.
Aktivitas usaha yang membiarkan dampak lalu lintas ditanggung publik menimbulkan pertanyaan etis, yaitu seberapa jauh tanggung jawab sosial bisnis terhadap ruang publik yang digunakan bersama?
Macet dan Kita Terbiasa?
Persoalan parkir liar berhenti menjadi masalah perilaku individu dan berubah menjadi ujian bagi wibawa institusi. Tanpa penertiban yang konsisten, evaluasi terbuka, dan sanksi tegas, pelanggaran parkir akan terus muncul di ruang jalan.
Kemacetan pun tak lagi sekadar konsekuensi teknis, melainkan harga yang harus dibayar publik akibat pembiaran yang berkepanjangan di tengah ledakan jumlah kendaraan.
Efektivitas aturan bukan hanya soal kepatuhan, tetapi juga soal koordinasi antarlembaga, kesadaran publik, dan penerapan teknologi, seperti sistem tilang elektronik dan manajemen parkir digital, untuk meminimalkan peluang pelanggaran.
Syahdan, sebagai warga yang setiap hari berhadapan dengan kemacetan, Penulis melihat Kota Makassar sedang diuji, apakah terus membiarkan kekacauan yang terasa nyaman bagi sebagian pihak, atau mengambil langkah tegas untuk mengembalikan ruang kota kepada publik? Wallahu A’lam Bishawab.




:strip_icc()/kly-media-production/medias/5456635/original/096053100_1766912433-david.jpeg)