Ketidakadilan yang Didiamkan

kumparan.com
7 jam lalu
Cover Berita

Sekarang, ketidakadilan—bahkan penindasan—jarang datang dengan wajah bengis atau senjata. Ia lebih sering hadir dalam bentuk yang halus: bahasa pembangunan, program yang terdengar mulia, dan laporan statistik yang tampak rapi.

Banyak orang akhirnya merasa “semuanya baik-baik saja” karena angka-angka terlihat naik. Padahal di bawah permukaan, beban hidup makin berat, ruang aman makin sempit, dan kelompok rentan terus membayar harga dari keputusan yang tidak mereka buat.

Kemiskinan bukan sekadar nasib, melainkan juga hasil dari pilihan politik dan tata kelola. Ketika korupsi menjadi kebiasaan elite, kemiskinan berubah menjadi warisan rakyat. Uang publik bocor, layanan dasar, sekolah, puskesmas, dan perlindungan sosial menjadi setengah jadi, serta keadilan terasa mahal karena akses hukum sering bergantung pada uang, jejaring, atau kekuasaan.

Dalam kondisi demikian, rakyat miskin bukan hanya kekurangan pendapatan, melainkan juga kehilangan “daya tawar” untuk hidup dengan layak.

Yang lebih berat, korupsi tidak hanya merusak anggaran negara. Ia juga merusak cara kita memperlakukan alam. Ketika izin-izin sumber daya diperdagangkan, ketika pengawasan hutan longgar karena suap atau konflik kepentingan, dan ketika peringatan ilmiah dianggap mengganggu investasi, kerusakan ekologis menjadi konsekuensi yang hampir pasti. Banjir dan longsor bukan semata-mata “bencana alam”; sering kali ia adalah “bencana sistem dan tata kelola”.

Akhir 2025 memberi contoh yang pahit. Banjir dan longsor besar di Sumatra—termasuk Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara—dilaporkan menewaskan sekitar 800 orang pada awal Desember, dengan ratusan orang hilang, jutaan warga terdampak, dan ratusan ribu mengungsi.

Beberapa hari kemudian, laporan berbasis data pemerintah yang dikutip Reuters menyebut angka kematian meningkat menjadi setidaknya 940 orang dan ratusan lainnya masih dinyatakan hilang. Ini bukan sekadar statistik: di balik setiap angka, ada keluarga yang kehilangan orang tua, anak, rumah, dan masa depan.

Di titik ini, “korupsi pada alam” bukan ungkapan puitis. Ia merujuk pada praktik nyata: pembiaran pembalakan liar, pembukaan lahan tanpa kendali, perizinan yang tidak transparan, dan penegakan hukum yang tumpul. Bahkan dalam liputan yang sama, muncul kritik publik tentang pemotongan anggaran lembaga mitigasi bencana dan tudingan bahwa deforestasi serta illegal logging memperparah dampak.

Bila tata kelola seperti ini dibiarkan, bencana tidak hanya akan berulang, tetapi juga makin memiskinkan. Meski upaya maksimal pemerintah dalam mengatasi masalah bencana alam telah dilakukan, jika sistem hukum yang berpihak pada elite penguasa masih dominan, budaya korup tetap menggurita dan bencana-bencana berikutnya hanya akan menunggu waktu.

Ironisnya, kelompok yang seharusnya menjadi pelita para guru dan dosen sering dipaksa hidup dalam keterbatasan. Banyak pendidik kesulitan menulis, meneliti, dan berkarya bukan karena miskin gagasan, melainkan karena beratnya beban ekonomi dan administrasi.

Ketika kebutuhan dasar belum aman, energi mental habis untuk bertahan, bukan untuk menghasilkan pengetahuan. Padahal, bangsa yang menelantarkan pendidiknya sedang melemahkan mesin utama perbaikan sosial: pendidikan yang jernih, kritis, dan berorientasi pada masa depan.

Di sisi lain, sebagian elite agama dan intelektual terjebak dalam kompromi dengan kekuasaan. Ruang kritis menyempit. Suara yang seharusnya mengoreksi kebijakan justru melemah, kadang berganti menjadi pembenaran. Mimbar menjadi aman, kampus kehilangan daya gugat, dan organisasi sipil mudah terpecah oleh polarisasi.

Dalam situasi seperti ini, penindasan tidak perlu berteriak: ia cukup membuat masyarakat lelah, sibuk, dan saling curiga.

Sumber daya alam—hutan, laut, tambang—yang seharusnya menjadi milik bersama, pada praktiknya sering dinikmati segelintir pihak. Rakyat kecil menanggung risiko, sementara keuntungan mengalir ke puncak.

Ketika ruang hidup dirampas atau rusak, yang hilang bukan hanya pohon atau tanah, melainkan juga mata pencaharian, kesehatan, dan ketahanan sosial. Dampaknya berantai: banjir merusak sawah, longsor memutus akses, air bersih langka, harga naik, dan anak-anak putus sekolah. Ketidakadilan ekonomi dan krisis ekologi pada akhirnya bertemu di satu titik: penderitaan warga miskin.

Lalu, apa yang mendesak dilakukan?

Harapan tidak lahir dari kepasrahan, tetapi dari kerja kolektif yang jelas arahnya. Di bawah ini terdapat beberapa langkah yang lebih konkret—bukan sekadar slogan—agar Indonesia tidak semakin terpuruk.

Pertama, perang antikorupsi yang serius dan konsisten. Ini berarti memperkuat penegakan hukum, transparansi anggaran, dan audit yang berani menyentuh sektor “basah”, seperti sumber daya alam, pengadaan, dan proyek infrastruktur. Korupsi harus diperlakukan sebagai kejahatan yang merusak hak sosial-ekonomi warga, bukan sekadar pelanggaran administratif.

Kedua, reformasi tata kelola alam berbasis keterbukaan dan sains. Izin-izin yang menyangkut hutan, tambang, dan pesisir harus mudah diawasi publik; penilaian dampak lingkungan tidak boleh menjadi formalitas dan pelanggaran harus ditindak, bukan dinegosiasikan. Jika banjir dan longsor terus berulang, artinya ada yang keliru di hulu: izin, pengawasan, dan penegakan.

Ketiga, mengembalikan martabat pendidik dan peneliti. Kesejahteraan guru dan dosen bukan hadiah, melainkan investasi. Negara yang ingin maju butuh ekosistem pengetahuan: waktu untuk riset, dukungan publikasi, dan perlindungan kebebasan akademik. Tanpa itu, kebijakan akan terus miskin data dan mudah dikuasai kepentingan jangka pendek.

Selain itu, memulihkan fungsi moral elite agama dan intelektual. Peran mereka tidak hanya memberi legitimasi, tetapi juga menjaga nurani publik: membela yang lemah, menegur yang menyimpang, dan mendorong politik kebajikan. Diam di tengah ketidakadilan sering berfungsi sebagai “persetujuan sosial” yang paling efektif.

Kemudian, memperkuat kesiapsiagaan bencana dan perlindungan sosial. Tragedi di Aceh–Sumbar–Sumut menunjukkan betapa mahalnya kerusakan ketika logistik terputus, akses air bersih sulit, dan layanan kesehatan terbatas. Mitigasi harus dipandang sebagai kebutuhan dasar, bukan pos anggaran yang bisa dipangkas seenaknya.

Terakhir, merawat ruang publik agar tidak dikuasai disinformasi dan politik kebencian. Masyarakat yang mudah dipecah akan sulit bersatu melawan korupsi dan kerusakan alam. Literasi media, budaya verifikasi, dan etika komunikasi perlu dibangun dari sekolah sampai komunitas.

Akhirnya, perubahan tidak selalu lahir dari tokoh besar. Ia sering bermula dari keberanian kecil yang konsisten: menolak suap, menjaga integritas, melindungi alam di level komunitas, menulis dan bersuara ketika melihat penyimpangan, serta membangun solidaritas lintas kelompok.

Indonesia belum selesai. Namun, selama masih ada orang yang berani berpikir jernih, berbicara benar, dan bekerja jujur, harapan tidak mati. Ia sedang menunggu untuk diperjuangkan.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Terduga Pelaku Pembongkar Rumah Nenek Elina Dibawa ke Polda Jatim dengan Tangan Diborgol
• 4 jam lalusuarasurabaya.net
thumb
Antisipasi Kepadatan, ASDP Imbau Masyarakat Atur Jadwal Perjalanan
• 4 jam lalutvrinews.com
thumb
Megawati Soekarnoputri Apresiasi Aksi Kemanusiaan Bersama Dokter Diaspora di Lokasi Bencana
• 1 jam lalumerahputih.com
thumb
Viral WNI yang Jadi ART Cristiano Ronaldo Bagikan Kisah Hidupnya: Aku bukan sekadar Pembantu 
• 12 jam lalufajar.co.id
thumb
Istana Turun Tangan Buntut Insiden Pelatih Valencia FC dan Tiga Anaknya Hilang Tenggelam di Perairan Labuan Bajo
• 4 jam lalutvonenews.com
Berhasil disimpan.