JAKARTA – Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi Gerindra, Azis Subekti, menilai wacana peninjauan ulang mekanisme pemilihan kepala daerah (pilkada) perlu ditempatkan dalam kerangka perbaikan demokrasi, bukan sebagai kemunduran politik.
Menurut Azis, konstitusi Indonesia tidak bersifat kaku dan memberikan ruang tafsir dalam praktik demokrasi sesuai kebutuhan masyarakat. Karena itu, menjalankan konstitusi tidak harus mempertahankan satu model demokrasi secara dogmatis, melainkan memastikan nilai kedaulatan rakyat, keadilan, dan kemaslahatan tetap terwujud.
Ia mengakui pilkada langsung pernah menjadi terobosan penting untuk mendekatkan rakyat dengan pemimpinnya. Namun setelah dua dekade berjalan, muncul persoalan struktural seperti tingginya biaya politik yang mendorong praktik transaksional, dominasi modal, hingga meningkatnya kasus kepala daerah bermasalah hukum.
"Demokrasi dalam kondisi ini berisiko kehilangan makna substansialnya. Partisipasi rakyat memang hadir di bilik suara, tetapi keputusan politik kerap ditentukan oleh kekuatan uang dan jejaring kekuasaan. Sengketa hasil pilkada, konflik horizontal di tingkat lokal, serta polarisasi sosial menjadi fenomena berulang yang menguras energi masyarakat tanpa selalu diikuti perbaikan kualitas layanan publik," ujarnya, Rabu (31/12/2025).
Azis menekankan demokrasi tidak hanya soal prosedur memilih, melainkan instrumen untuk melahirkan kepemimpinan yang berintegritas dan efektif. Karena itu, evaluasi terhadap mekanisme pilkada justru merupakan upaya menyelamatkan demokrasi dari insentif buruk yang bersifat sistemik.
Ia menilai pilkada melalui DPRD merupakan salah satu opsi konstitusional yang patut dipertimbangkan secara rasional. DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat dinilai memiliki ruang pengawasan lebih terstruktur, terutama jika dibarengi mekanisme transparan seperti uji publik, pemaparan visi-misi terbuka, serta pengawasan media.
Dengan skema tersebut, kompetisi politik diharapkan bergeser dari mobilisasi uang ke adu gagasan dan kapasitas kepemimpinan. Selain itu, biaya politik dinilai bisa ditekan dan akuntabilitas kepala daerah menjadi lebih jelas.
Meski diakui tidak ada sistem yang sepenuhnya bebas dari risiko transaksi, Azis menegaskan demokrasi adalah soal memilih desain yang paling rasional dan paling mungkin diawasi. Menurutnya, transaksi yang lebih terkonsentrasi justru lebih mudah dikendalikan dibanding praktik transaksional yang menyebar luas.
"Perdebatan mengenai pilkada seharusnya tidak terjebak pada polarisasi, tetapi diarahkan pada satu pertanyaan mendasar: sistem mana yang paling mungkin bekerja secara jujur dan efektif dalam konteks Indonesia hari ini. Jika pertanyaan itu dijawab dengan kepala dingin dan keberanian politik, demokrasi justru akan tumbuh lebih matang," pungkasnya.
Original Article



